A. Pengertian Pilkada
Pemilihan Umum Kapala Daerah dan wakil kepala daerah, atau seringkali
disebut pilkada adalah Pemilihan Umum untuk memilih kepada daerah dan
wakil kepala daerah secara langsung di Indonesia oleh penduduk daerah
setempat.yang memenuhi syarat. Kepala daerah dan wakil kepala daerah
adalah :
- Gubernur dan wakil gubernur untuk Provinsi.
- Bupati dan wakil bupati untuk Kabupaten.
- Walikota dan wakil walikota untuk Kota.
Sebelumnya, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dasar hokum penyelenggaraan
pilkada adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah. Dalam undang-undang ini, pilkada belum dimasukkan dalam rezim
pemilihan umum (pemilu). Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan
juli 2005.
Sejak berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggaran Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu,
sehingga secara resmi bernama “Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil
Kepala Daerah”. Pilkada pertama yang diselenggarakan berdasarkan
undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.
Munculnya pilkada langsung ini adalah suatu yang baik dalam proses
perkembangan demokrasi dan demokratisasi di tanah air. Melalui
pelaksanaan otonomi daerah yang dijadikan sebagai media untuk
mendesentralisasikan sistem demokrasi yang semakin disempurnakan,
termasuk melalui pilkada ini, diharapkan akan menggairahkan dan
merangsang tumbuhnya kekuatan-kekuatan baru yang pro demokrasi di
daerah. Artinya, melalui pemilihan kepala daerah yang secara langsung
ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian
diharapkan akan sanggup membuat kontrak politik dengan segenap komponen
masyarakat, serta mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan.
Jika selama ini, kepala daerah dipilih oleh sekelompok “elit” di DPRD,
yang ternyata tidak jarang tercium aroma tak sedap, berupa politik
kongkalikong di antara elit-elit politik daerah, hanya menimbulkan
malapetaka politik bagi rakyat. Maka kita tak heran, ketika pemilihan
kepala daerah, tak jarang muncul calon yang justru sangat “dibenci”
rakyat. Akan tetapi dengan bermodalkan kekuatan yang ada padanya
(misalnya uang), kemudian digunakan untuk mengelabui lembaga DPRD, untuk
akhirnya memilihnya. Pada saat yang sama ada banyak anggota DPRD yang
justru menunggu dan menginginkan hal tersebut.
Melalui pilkada, pemerintahan di tingkat lokal akan semakin dekat dengan
rakyat, kemudian sekaligus akan menciptakan akuntabilitas yang tinggi
dari rakyat untuk pemerintahan lokal. Maka dengan demikian akan tercipta
juga responsiveness yang baik juga. Misalnya melalui semakin kritisnya
rakyat dalam pengambilan kebijakan di tingkat lokal.
Pemilihan secara langsung bagi para kepala daerah (local government
heads) dan para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (local
representative council), merupakan salah satu syarat utama bagi
terwujudnya pemerintahan daerah yang akuntabel dan responsif, serta
terbangunnya apa yang mereka sebut dengan political equality (persamaan
hak politik) di tingkat lokal.
B. Faktor Pendorong Munculnya Suap Pilkada Langsung
Ruang sempit yang disediakan untuk calon independen hanya sekadar
basa-basi guna menimbulkan kesan demokratis. Dikatakan demikian,
kewajiban untuk memberikan kesempatan kepada calon perorangan tidak
diikuti dengan sanksi yang tegas jika partai politik tidak
melaksanakannya. Apalagi ada aturan bahwa proses seleksi calon
perorangan harus sesuai dengan mekanisme internal partai politik.
Pertanyaannya, sudah seberapa banyakkah partai politik membuat aturan
internal yang memungkinkan calon perorangan bersaing secara fair?
Persoalan ini merupakan pintu awal masukkan suap pada proses pilkada
langsung.
Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 dan PP No 6/2005 tidak
terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu secara
implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan, Pasangan
calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan
uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian Ayat (2),
Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran
berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD. Dengan
definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan. Dalam
kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri pada
partai politik hingga ke masa kampanye.
Pencalonan kepala daerah yang harus melalui pintu partai politik yang
memenuhi persyaratan tertentu diprediksi bakal menjadi pintu masuk
terjadinya konflik. Karena calon nonpartai yang dikenal mempunyai
pendukung kuat pun harus melalui pintu parpol, bisa timbul masalah jika
keinginan tersebut ternyata tidak diakomodasi oleh parpol yang ada.
Elite parpol yang berpikir pragmatis tentunya tidak akan dengan gampang
memberi jalan kepada calon yang bukan kader partainya. Selain itu,
polarisasi politik juga menjadi faktor pemicu konflik. Jika keragaman
parpol, kelompok etnis, atau agama tidak menjadi pertimbangan parpol
atau gabungan parpol dalam mengajukan pasangan calonnya, bisa muncul
kekerasan dari kelompok yang merasa terancam eksistensinya akibat
datangnya rezim monolitik itu.
C. Upaya yang Dilakukan Oleh Aparat Penegak Hukum Untuk Mengatasi Problematika Pilkada Langsung
Opini publik yang berkembang pada saat aturan hukum pilkada dirumuskan
bahwa pilkada langsung dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
praktek suap ternyata tidak dapat dipertahankan lagi. Sebagai ilustrasi
berikut ini disajikan resume hasil penelitian permasalah pilkada;
Menurut Topo Santoso, salah satu kekurangan dari peraturan perundang
yang mengatur pilkada adalah minimnya alasan menggugat hasil pilkada. UU
No 32 Tahun 2004 hanya mengenal satu alasan. Hasil pemilihan bisa
digugat bila KPUD salah menghitung. Padahal, bisa saja terjadi kesalahan
besar dalam pendaftaran pemilih sehingga pendukung salah satu kandidat
kehilangan hak pilih, seperti terjadi di Cilegon. Salah seorang calon
menduga, lebih dari 56.000 pendukungnya kehilangan hak pilih. Kecurangan
lain yang berpotensi memengaruhi hasil adalah suap. Ini pun tidak bisa
dijadikan alasan menggugat hasil pilkada. Juga kecurangan di tahapan
pendaftaran pemilih, tahapan kampanye, kekerasan atau ancaman kekerasan,
pelibatan PNS atau penyalahgunaan kekuasaan, menghalangi pemilih, dan
aneka kecurangan lain. Solusi hukumnya jelas. Berikan hak kepada pihak
yang merasa dirugikan untuk menyanggah penetapan KPUD dengan mekanisme
hukum yang jelas. Sementara itu, dasar untuk menggugat hasil pilkada
harus diperluas, bukan hanya terjadinya kesalahan penghitungan oleh
KPUD, tetapi juga mencakup terjadinya kesalahan, kecurangan, manipulasi,
atau tindak pidana pemilihan yang bisa memengaruhi hasil. Hal ini hanya
bisa dilakukan dengan memperbaiki atau melengkapi UU Pemerintah Daerah.
Definisi suap dalam pemilihan kepala daerah langsung perlu diperjelas
untuk menghindari kambuhnya "penyakit pemilu" itu dalam pilkada Juni
2005. Definisi suap dalam Undang-Undang No 32/2004 tentang Pemerintahan
Daerah dan Peraturan Pemerintah No 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan
Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah
tidak terlalu jelas cakupannya. Definisi suap dalam UU No 32/2004 itu
secara implisit tercantum dalam Pasal 82 Ayat (1) yang menyebutkan,
Pasangan calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih. Kemudian
Ayat (2), Pasangan calon dan/atau tim kampanye yang terbukti melakukan
pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan
hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai pasangan calon oleh DPRD.
Menurut penulis, definisi seperti itu sulit diaplikasikan di lapangan.
Dalam kenyataannya suap terjadi sejak pasangan calon mendaftarkan diri
pada partai politik hingga ke masa kampanye.
D. Upaya Mencegah Suap
Mengutip pendapat Ramlan Surbakti, setidak-tidaknya tiga cara dapat
ditempuh untuk mencegah praktik suap, yaitu melalui mekanisme pelaporan
dan audit dana kampanye pilkada langsung, penegakan hukum, dan melalui
pengorganisasian pemilih (organize voters) oleh para pemilih sendiri.
Cara pertama diadopsi oleh peraturan perundang-undangan, tetapi
pengaturannya masih harus dilengkapi oleh KPU provinsi/KPU
kabupaten/kota. Berdasarkan pengalaman menangani pelaporan dan audit
dana kampanye pemilihan umum presiden dan wakil presiden tahun 2004,
tujuh hal berikut perlu diadopsi oleh KPUD.
1. Belum semua penerimaan dan pengeluaran tercatat dalam rekening khusus
di bank yang sudah dilaporkan kepada KPU. Yang terjadi adalah sumbangan
disampaikan kepada bendahara untuk kemudian digunakan atau langsung
digunakan secara operasional tanpa melalui pencatatan bendahara.
Akibatnya Rekening Khusus Dana Kampanye Pemilu di bank saja belum mampu
menggambarkan seluruh transaksi dan kegiatan kampanye peserta pemilu.
Berdasarkan pengalaman ini, KPUD perlu menegaskan dalam peraturan bahwa
semua penerimaan dan pengeluaran harus tercatat dalam rekening khusus.
2. Pasangan calon dan/atau tim kampanye pasangan calon ternyata sudah
menerima sumbangan dari berbagai pihak dan/atau mengeluarkan uang untuk
keperluan pencalonan jauh sebelum pasangan calon didaftarkan kepada KPU
sebagaimana diidentifikasi di atas. Ketika KPU meminta pasangan calon
melaporkan saldo awal dalam Rekening Khusus Dana Kampanye ternyata yang
dilaporkan hanya dana minimal untuk membuka rekening. Dana yang sudah
diterima dan digunakan sebelum pembukaan rekening khusus tidak
dimasukkan ke dalam rekening khusus. Berdasarkan pengalaman ini, KPUD
perlu membuat pengaturan yang tak hanya mewajibkan pasangan calon/tim
kampanye mencatat transaksi tersebut dalam rekening khusus, yaitu dengan
mencatatnya sebagai saldo awal, tetapi juga melaporkan seluruh
transaksi sebelum pendaftaran pasangan calon dalam laporan penerimaan
dan pengeluaran dana kampanye pilkada.
3. Pasangan calon/tim kampanye pasangan calon belum disiplin mencatat
dan melaporkan sumbangan pihak ketiga, yaitu mereka yang melaksanakan
sejumlah kegiatan kampanye (mengeluarkan dana) bagi pasangan calon
tersebut dengan uang sendiri dan/ atau menggunakan sumbangan pihak lain.
Sumbangan yang diterima dalam bentuk nonkas (in kind) juga belum
dicatat dan dilaporkan oleh tim kampanye. KPUD perlu menegaskan
ketentuan ini ketika melakukan sosialisasi kepada tim kampanye pasangan
calon pemilihan kepala daerah.
4. Menurut ketentuan laporan penerimaan dan pengeluaran pasangan calon
merupakan laporan konsolidasi. Dari laporan kantor akuntan publik (KAP),
terlihat belum semua penerimaan kas dan nonkas tim kampanye daerah
dicatat dan dilaporkan. KPUD perlu mempertimbangkan pembuatan peraturan
yang juga mewajibkan tim kampanye daerah (tingkat kabupaten dan tingkat
kecamatan untuk pemilihan gubernur serta tingkat kecamatan untuk
pemilihan bupati/wali kota) mencatat dan melaporkan semua penerimaan dan
pengeluaran, baik kas maupun nonkas, sehingga termasuk yang akan
diaudit oleh KAP.
5. Tidak semua sumbangan dapat dikategorikan ke dalam tiga kategori
sumber sumbangan menurut undang- undang, yaitu partai politik/gabungan
partai politik yang mencalonkan, pasangan calon, dan perseorangan dan
badan hukum swasta. Bila sekelompok orang melakukan kegiatan usaha
mencari dana dengan menjual barang tertentu dan hasilnya disumbangkan
kepada pasangan calon tertentu, sedangkan sekelompok orang tersebut
tidak mempunyai hubungan atau perjanjian apa pun dengan pasangan calon,
ke dalam kategori apakah sumbangan ini dimasukkan. Sumbangan ini jelas
tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori sumbangan perseorangan karena
melibatkan sekelompok orang. Sumbangan ini juga tidak dapat dimasukkan
ke dalam kategori sumbangan badan hukum swasta karena sekelompok orang
tersebut tidak membentuk badan usaha. Apabila pasangan calon/ tim
kampanye dapat melakukan kegiatan usaha mencari dana, KPUD perlu
mempertimbangkan hal berikut. Bila jenis usaha tersebut berupa penjualan
barang, sebaiknya sumbangan ini dikelompokkan sebagai sumbangan dunia
usaha walaupun tanpa status badan hukum. Bila jenis usaha tersebut
berupa penggalangan sumbangan dari sejumlah orang, sumbangan ini harus
dikategorikan sebagai sumbangan perseorangan.
6. Karena waktu yang tersedia untuk proses pelaksanaan audit hanya 15
hari, maka pengecekan yang dilakukan KAP terhadap semua bentuk
sumbangan, terutama penyumbang individual dan badan hukum swasta hanya
secara acak dengan kuesioner sehingga kurang menyeluruh dan mendalam.
Oleh karena itu, apabila memungkinkan, KPUD perlu mempertimbangkan waktu
yang lebih memadai bagi KAP untuk melakukan audit. Keterbatasan waktu
yang tersedia dapat pula diatasi dengan meminta lembaga pemantau, yang
khusus memantau dana kampanye pilkada, dan panwas, menyerahkan hasil
pemantauan dana kampanye pilkada untuk digunakan sebagai bahan audit
oleh KAP.
7. KAP perlu diberi kewenangan melakukan audit investigation bila
terjadi kesenjangan pengeluaran dan penerimaan dari laporan pasangan
calon.
Dari segi penegakan hukum, berdasarkan hasil audit KAP terhadap laporan
pasangan calon, KPUD berwenang mengenakan sanksi pembatalan calon
apabila pasangan calon/tim kampanye terbukti: (a) menerima sumbangan/
bantuan lain dari pihak negara, swasta, LSM, dan warga asing, (b)
menerima sumbangan/bantuan lain dari pihak yang tidak jelas
identitasnya, dan (c) menerima sumbangan/bantuan lain dari pemerintah,
BUMN, dan BUMD. Selain itu, apabila pengadilan menyatakan pasangan
calon/ tim kampanye terbukti memberikan atau menjanjikan uang atau
materi lainnya untuk memengaruhi pemilih, KPUD juga harus
mendiskualifikasi pasangan calon tersebut. Berdasarkan putusan Mahkamah
Konstitusi, kewenangan membatalkan calon seperti ini yang semula berada
pada DPRD kini dialihkan kepada KPUD karena KPUD-lah yang menetapkan
calon.
Akan tetapi, UU No 32 Tahun 2004 dan PP No 6 Tahun 2005 ternyata tidak
memberikan sanksi bagi penyumbang atau penerima sumbangan dana kampanye
yang melebihi jumlah maksimal yang ditetapkan dalam UU No 32 Tahun 2004.
Bila kekosongan hukum ini tidak segera diatasi, misalnya, mengaturnya
dalam peraturan pemerintah pengganti undang- undang (perpu) yang kini
tengah disiapkan oleh pemerintah, tidak saja tidak ada gunanya
menetapkan batas maksimal sumbangan dalam UU, tetapi juga akan
memperlakukan pasangan calon lain dan para pemilih secara tidak adil.
E. Landasan Hukum Pilkada.
Indonsia pertama kali dalam melaksanakan Pemilu pada akhir 1955 yang
diikuti oleh banyak partai ataupun perseorangan. Dan pada tahun 2004
telah dilaksanakan pemilu secara langsung untuk memilih wakil wakil
rakyat serta presiden dan wakilnya. Dan sekarang ini mulai bulan juni
2005 telah dilaksanakan Pemilihan Kepala Daerah atau sering disebut
pilkada langsung. Pilkada ini merupakan sarana perwujudan kedaulatan
rakyat. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pilkada langsung
bagi perkembangan demokrasi di Indonesia.
1. Pilkada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat
karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepada
desa selama ini telah dilakukan secara langsung.
2. Pilkada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945.
Seperti telah diamanatkan pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubenur, Bupati
dan Walikota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi,
kabupatenm dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur
dalam UU No. 32 Tahun 2005 tentang pemilihan, pengesahan, pengangkatan,
dan pemberhentian Kepala Daerah dan wakil kepala daerah.
3. Pilkada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi
rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik
berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran
kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang
benar sesuai nuraninya.
4. Pilkada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah.
Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin
lokal. Semakin baik pemimpin lokal dihasilkan dalam pilkada langsung
2005, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi
daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan
selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat
diwujudkan.
5. Pilkada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi
kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stock kepemimpinan nasional
amat terbatas. Dari jumlah penduduk yang lebih dari 200 juta, jumlah
pemimpin yang kita miliki hanya beberapa. Mereka sebagian besar para
pemimpin partai politik besar yang memenangi Pemilu 2004. karena itu,
harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pilkada langsung
ini.
F. Mewaspadai Politik Uang di Pilkada
Politik uang merupakan salah satu praktik busuk yang dikhawatirkan
banyak pihak dapat mengancam pelaksanaan pemilihan langsung kepala
daerah (pilkada) bulan Juni. Begitu berbahayanya praktik politik uang
tersebut tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kemurnian dari
proses pelaksanaan pilkada. Lalu benarkah praktik politik uang akan
mewarnai perjalanan pesta pilkada nanti? Mengingat isu-isu tentang
praktik politik uang dalam setiap pesta politik di negeri ini selalu
saja hampir terjadi, seperti misalnya pada pesta pemilu. Pertanyaan di
atas patut dicermati, jika tidak akan dapat mengancam proses demokrasi
yang sedang berlangsung.Wacana tentang politik uang pada setiap pesta
politik di Indonesia memang selalu menjadi topik menarik untuk di
bicarakan. Sebab memang permainan politik uang akan menjurus kepada
hasil yang tidak mempunyai legitimasi bagi suatu pembentukan
pemerintahan yang kuat dan dicintai rakyat. Di samping itu, politik uang
jelas akan menghancurkan sistem demokrasi yang sedang giat-giatnya kita
bangun.
Lalu apakah yang dimaksud dengan politik uang tersebut? Sehingga begitu
hebat sekali pengaruhnya dalam membunuh kehidupan demokrasi. Sampai saat
ini memang tidak ada definisi yang khusus mengenai apa itu politik
uang. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) istilah politik uang
juga tidak ditemukan, sehingga kejahatan ini sangat sulit dibuktikan
untuk kemudian diselesaikan secara hukum. Buktinya sampai sekarang belum
ada seorang pun yang diajukan ke meja hijau karena terlibat praktik
politik uang. Dibutuhkan bukti-bukti yang sangat konkret untuk
membuktikan kejahatan ini.
Meskipun demikian, dalam Undang-Undang No 12/2002 tentang pemilu
khususnya Pasal 110 telah menyebutkan, 'bahwa suatu tindakan yang dalam
hal ini politik uang mencakup dua aspek'. Pertama, dari sisi pelaku;
pelakunya adalah calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD
kabupaten/kota. Kedua, dari sisi bentuknya; berupa menjanjikan dan atau
memberikan uang dan atau materi lainnya kepada pemilih. Berdasarkan
penjabaran UU tersebut, politik uang bisa dikategorikan kepada kejahatan
korupsi. Karena ia memberikan suap berupa uang kepada pihak lain untuk
mencapai tujuan politik. Dalam kaitan ini pemberi dan penerima dapat
dikategorikan sama-sama melakukan pelanggaran, sehingga kedua belah
pihak dapat dikenakan sanksi tindak pidana korupsi sesuai dengan UU No
31/1999 tentang Pemberantasan Korupsi.
Agar praktik-praktik politik uang dalam pilkada nanti tidak tumbuh dan
berkembang, pihak-pihak terkait dalam hal ini KPUD, partai politik, LSM,
mahasiswa, tokoh masyarakat dan elemen masyarakat lainnya yang
berkeinginan akan lahirnya pemerintahan daerah yang bersih, berwibawa,
jujur, dan adil hendaknya perlu 'mewaspadai praktik-praktik politik'
uang tersebut. Jangan sampai praktik politik uang berlangsung pada saat
menjelang atau saat pelaksanaan pilkada nanti. Cara mengantisipasi
praktik politik uang ini bisa saja dilakukan dengan mengawasi secara
ketat pelaksanaan pilkada, mulai dari tahap awal pendaftaran atau
penyaringan nama-nama bakal calon kepala daerah sampai saat pemilihan
berlangsung. Jika ada yang terbukti melakukan praktik politik uang,
pihak-pihak yang berkepentingan harus dengan tegas memberikan sanksi.
Misalnya sanksi hukum dan calon tidak diperbolehkan untuk ikut dalam
proses pilkada.(Oksidelfa Yanto, Peneliti CSIS, Jakarta)
Mengenai isu politik uang, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah
menyusun program pencegahan praktik politik uang (money politic) yang
berpeluang terjadi dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2010 di
beberapa daerah. Anggota Bawaslu Wirdaningsih mengatakan, langkah
antisipatif yang sudah dilakukan itu adalah dengan memetakan
daerah-daerah yang rawan dan berpotensi muncul politik uang. Peta ini
disusun berdasarkan beberapa fase rawan. “Fase rawan itu adalah tahapan
pencalonan dan tahapan kampanye.
Daerah-daerah ini yang menjadi titik fokus kami dalam menyorot praktik
money politic, tegas Wirdaningsih di Jakarta kemarin. Dia mengatakan,
selain memetakan wilayah rawan, Bawaslu juga memfokuskan pengawasan
kepada calon incumbent. Menurut Regulatory Approval Expert in Indonesia,
incumbent memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan pelanggaran
pilkada, baik melalui politik uang, penyalahgunaan wewenang, maupun
pemanfaatan kekuasaan.
G. Pilkada Langsung Rusak karena Virus Politik Uang
JAKARTA" (Suara Karya) Meskipun pemilihan kepada daerah (pilkada) secara
langsung menimbulkan biaya politik yang mahal, tetapi dari sisi
legitimasi dari hasil pemilihannya akan lebih kuat
"Biaya politik dari pilkada langsung memang cukup mahal, tetapi
legitimasinya lebih kuat Lagi pula, sebenarnya yang harus dihindari
bukanlah berapa besar biayanya melainkan masalah politik uang (money
politics)," kata Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di sela
acara buka puasa dengan wartawan di kediamannya di Jakarta, Kamis (19/8)
malam. Hal sama juga dikemukakan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud
MD. Dia menambahkan, masalah politik uang merupakan salah satu persoalan
dalam pilkada yang perlu diwaspadai. Sebab, bersifat destruktif karena
termasuk pragmatisme politik yang paling vulgar karena menyebabkan
kesadaran poltik jadi rusak.
"Karena nantinya yang menjadi pertimbangan politik bukanlah hal-hal yang
objektif melainkan karena melihat sejumlah uang Itu yang harus menjadi
agenda bersama kalau kita ingin demokrasi yang lebih sehat," ujarnya.
Sebenarnya, menurut Anas, problemnya yangpaling1 rrlendasar bukan pada
sistem pilkada langsung tersebut tetapi akibat sejumlah aspek dalam
penyelenggaraan di lapangan, mulai dari tahapan rekruitmen calon,
penye-lenggaraaan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di daerah, pola
hubungan calon dengan pemilih, hingga metode kampanye.
Selain itu, jika pemilu langsung hanya menyebabkan besarnya biaya
politik karena untuk iklan atau kampanye, Anas menilai, hal itu tidak
sepenuhnya benar. "Kalau dilihat dari pil-kada-pilkada, biaya iklan itu
tidak terlalu tinggi, apakah iklan di media atau alat-alat peraga. Yang
besar itu jika terjadi penyimpangan, misalnya pembelian suara," katanya.
Dia mengakui, jika ditemukan biaya pemenangan dibeberapa tempat yang
besar karena faktornya pembelian suara. Hal itu terjadi akibat terdapat
kandidat yang modal popularitas dan elektabilitasnya tidak maksimal.
Sehingga, ujar dia, yang diandalkan adalah modal pembelian suara.
Seperti seperti ditehaui ada beberapa modal yang biasanya muncul di
dalam setiap pilkada, yakni modal sosial dan politiknya.
"Dengan begitu, jika kandidat yang bersangkutan memiliki modalsosial dan
politik yang cukup tinggi maka biaya pemenanggaannya otomatis tidak
terlalu besar. Sebaliknya, jika tingkat popularitas dan tingkat
pemilihannya rendah, maka mau tidak mau biaya pemenangannya menjadi
besar," ujarnya.
JAKARTA" (Suara Karya) Meskipun pemilihan kepada daerah (pilkada) secara
langsung menimbulkan biaya politik yang mahal, tetapi dari sisi
legitimasi dari hasil pemilihannya akan lebih kuat "Biaya politik dari
pilkada langsung memang cukup mahal, tetapi legitimasinya lebih kuat
Lagi pula, sebenarnya yang harus dihindari bukanlah berapa besar
biayanya melainkan masalah politik uang (money politics)," kata Ketua
Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum di sela acara buka puasa dengan
wartawan di kediamannya di Jakarta, Kamis (19/8) malam. "Karena nantinya
yang menjadi pertimbangan politik bukanlah hal-hal yang objektif
melainkan karena melihat sejumlah uang Itu yang harus menjadi agenda
bersama kalau kita ingin demokrasi yang lebih sehat," ujarnya.